ASUHAN
KEPERAWATAN
“ERITEMA NODUSUM LEPROSUM”
OLEH
RAHMAT
ADI SURYA, S.Kep
PROGRAM
PROFESI NERS
FAKULTAS
ILMU KESEHATAN
UIN
ALAUDDIN MAKASSAR
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A. Definisi
Penyakit kusta
adalah penyakit menular yang menahun yang menyerang saraf perifer, kulit dan
jaringan tubuh lainnya.Yang mana kerusakan saraf yang paling sering muncul
dapat berupa hilangnya sensasi dan paralisis.Pada perjalanan penyakit kusta
terdapat episode akut yang di kenal dengan istilah reaksi kusta.Tipe reaksi
terbagi dua yaitu, reaksi kusta tipe-1 (reaksi reversal) dan tipe-2 (Eritema
Nodusum Leprosum).
Eritema Nodusum
Leprosum (ENL) adalah reaksi kusta tipe 2 dengan manifestasi lesi kulit berupa
nodul merah yang nyeri kemudian mengalami nekrosis dan ulserasi serta
mengeluarkan pus kuning yang kental.Predileksi lesi ditemukan di wajah dan di
permukaan ekstendor ekstremitas, tetapi juga dapat muncul di area tubuh
lainnya.
Reaksi :Episode akut yang terjadi pada penderita
kusta yang masih aktiv disebabkan suatu interaksi antara bagian-bagian dari
kuman kusta yang telah mati dengan zat yang telah tertimbun di dalam darah
penderita dan cairan penderita.
Mycrobacterium leprae merupakan basil tahan asam
(BTA), yang bersifat obligat intraseluler, yang menyerang saraf perifer, kulit,
dan organ lain seperti mukosa saluran napas bagian atas, hati, dan sumsum
tulang kecuali susunan saraf pusat.Masa membelah diri mycrobacterium leprae
12-21 hari dan masa tunasnya antara 40 hari – 40 tahun. Mycrobacterium leprae
atau kuman hansen adalah kuman penyebab penyakit kusta yang ditemukan oleh
sarjana dari Norwegia, GH Armouer Hansen pada tahun 1873. Kuman ini bersifat
tahan asam berbentuk batang dengan ukuran 1,8 micron, lebar 0,2-0,5 micron.
Biasanya ada yang berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel
terutama jaringan yang bersuhu dingin dan tidak dapat di kultur dalam media
buatan.
ENL merupakan basil humoral dimana basil kusta yang
utuh maupun yang tidak utuh menjadi antigen sehingga tubuh membentuk antibodi,
selanjutnya membentuk kompleks imun yang mengendap dalam vaskuler.Reaksi tipe –
2 yang tipikal pada kulit ditandai dengan nodul – nodul eritematosa yang nyeri,
timbul mendadak, lesi dapat superfisial atau lebih dalam.Berbagai faktor yang dianggap sering
mendahului timbulnya reaksi kusta antara lain : setelah pengobatan antikusta
yang intensif, infeksi rekuren, pembedahan, dan stres fisik.
C. Patofisiologi
Meskipun cara masuk mycrobacterium leprae ke dalam
tubuh belum diketahui secara pasti.Namun, beberapa penelitian menunjukkan bahwa
penularannya yang paling sering melalui kulit yang lecet, pada bagian tubuh
yang bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal.Setelah mycrobacterium leprae
masuk ke dalam tubuh, perkembangan penyakit kusta bergantung pada kerentanan
seseorang. Respon tubuh setelah masa tunas dilampaui tergantung pada derajat
sistem imunitas seluler (cellular mediated immune) pasien. Kalau sistem
imunitas seluler tinggi, berarti penyakit berkembang ke arah tuberkuloid dan
bila rendah, berarti berkembang ke arah lepromatosa.Mycrobacterium leprae
berpredileksi di daerah-daerah yang relatif lebih dingin, yaitu daerah akral
dengan vaskularisasiyang sedikit. Mycrobacterium leprae terutama terdapat pada
sel makrofag disekitar pembuluh darah
superior pada dermis atau sel Schwann jaringan saraf, bila kuman masuk ke dalam
tubuh, maka tubuh akan bereaksi mengeluarkan makrofag untuk memfagosit.
1. Tipe
LL (Lepromatosa) : Terjadi kelumpuhan system imun seluler yang rendah dimana
makrofag tidak mampu menghancurkan kuman, dan dapat membelah diri dan dengan
bebas merusak jaringan.
2. Tipe
TT (Tuberkoloid) : Fase system imun seluler yang tinggi dimana makrofag dapat
menghancurkan kuman hanya setelah kuman difagositosis, terjadi sel epitel yang
tidak bergerak aktif, dan kemudian bersatu membentuk sel, bila tidak segera
diatasi terjadi reaksi berlebihan dan masa epitel menimbulkan kerusakan saraf
dan jaringan sekitar.
Pada reaksi kusta,
terjadi peningkatan hipersensitivitas seluler mendadak, sehingga respon
terhadap antigen basil mycrobacterium leprae yang mati dapat meningkat.Keadaan
ini ditunjukkan dengan peningkatan transformasi limfosit.Tetapi sampai sekarang
belum diketahui dengan pasti antigen M. leprae mana yang mendasari kejadian
patologis tersebut dapat terjadi.Determinan antigen tertentu yang mendasari
reaksi penyakit kusta pada tiap penderita mungkin berbeda. Sehingga gambaran
klinisnya dapat berbeda pula sekalipun tipe lepra sebelum reaksi sama.
Determinan antigen banyak didapati pada kulit dan jaringan saraf.Derajat
penyakit tidak selalu sebanding dengan derajat infeksi karena respons imun pada
tiap pasien berbeda.Gejala klinis lebih sebanding dengan tingkat reaksi seluler
daripada intensitas infeksi.Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut
sebagai penyakit imunologis.
D. Tanda dan Gejala
Tanda
dan gejala pada penyakit kusta, yaitu :
1. Reaksi
tipe I (reaksi reversal, reaksi upgrading, reaksi boederline).
Terjadi pada
pasien tipe borderline disebabkan meningkatnya kekebalan seluler secara
cepat.Pada reaksi ini terjadi pergeseran tipe kusta ke arah PB
(paucibacillary).Faktor pencetusnya tidak diketahui secara pasti tapi
diperkirakan ada hubungannya dengan reaksi hipersensitivitas tipe lambat.Gejala
klinis reaksi tipe I berupa perubahan lesi kulit, neuritis (nyeri tekan pada
saraf), dan/atau gangguan keadaan umum pasien (gejala konstitusi).
2. Reaksi
tipe II (reaksi eritema nodosum leprosum).
Reaksi
ini terjadi pada pasien tipe MB (multibacillary) dan merupakan reaksi humoral,
dimana basil kusta yang utuh maupun tak utuh menjadi antigen. Tubuh akan
membentuk antibodi dan komplemen sebagai respon adanya antigen. Reaksi kompleks
imun terjadi antara antigen, antibodi, dan komplemen. Kompleks imun ini dapat
mengendap antara lain di kulit berbentuk nodul yang dikenal sebagai eritema
nodosum leprosum (ENL), mata (iridosiklitis), sendi (artritis), dan saraf
(neuritis) dengan disertai gejala konstitusi seperti demam dan malaise, serta
komplikasi pada organ tubuh lainnya.Hal-hal yang mempermudah terjadinya reaksi
kusta adalah stres fisik (kondisi lemah, pembedahan, sesudah mendapat
imunisasi) dan stres mental. Perjalanan
reaksi dapat berlangsung sampai 3 minggu.Kadang-kadang timbul berulang-ulang
dan berlangsung lama.
E. Pemeriksaan Diagnostik/Penunjang
Deteksi dini untuk
reaksi penyakit kusta sangat penting untuk menekan tingkat kecacatan
ireversibel yang mungkin terjadi sebagai gejala sisa.Tingkat keberhasilan
terapi tampak lebih baik jika penyakit kusta ini dideteksi dan ditangani secara
dini. Diagnosis dapat ditegakkan
berdasarkan :
1. Gambaran
klinik
Gejala klinik
tersebut diantara lain :
a. Lesi
kulit menjadi lebih merah dan membengkak.
b. Nyeri,
dan terdapat pembesaran saraf tepi.
c. Adanya
tanda-tanda kerusakan saraf tepi, gangguan sensorik maupun motorik.
d. Demam
dan malaise.
e. Kedua
tangan dan kaki membengkak.
f. Munculnya
lesi-lesi baru pada kulit.
Pemeriksaan
penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah sebagai
berikut:
2).
Laboratorium :
a. Darah
rutin: tidak ada kelainan
b. Bakteriologi:
3).
Pemeriksaan histopatologi
Dari
pemeriksaan ini ditemukan gambaran berupa :Infiltrate limfosit yang meningkat
sehingga terjadi udema dan hiperemi. Diferensiasi makrofag kearah peningkatan
sel epiteloid dan sel giant memberi gambaran sel langerhans.Kadang-kadang
terdapat gambaran nekrosis (kematian jaringan) didalam granulosum.Dimana
penyembuhannya ditandai dengan fibrosis.
F.
Komplikasi
Cacat merupakan komplikasi yang dapat terjadi pada
pasien kusta akibat kerusakan fungsi saraf tepi maupun karena neuritis sewaktu
terjadi reaksi kusta.Reaksi kusta atau reaksi lepra adalah suatu episode akut
dalam perjalanan kronis penyakit kusta yang merupakan reaksi kekebalan (respon
seluler) atau reaksi antigen-antibodi (respon humoral) dengan akibat merugikan
pasien.Reaksi ini dapat terjadi pada
pasien sebelum mendapat pengobatan, selama pengobatan dan sesudah pengobatan.
Namun sering terjadi pada 6 bulan sampai setahun sesudah mulai pengobatan.
G. Penatalaksanaan
Reaksi lepra harus
diobati dan dikontrol untuk mencegah terjadinya komplikasi. Penatalaksanaan dilakukan dengan
melanjutkan penggunaan obat anti mikroba, terapi anti inflamasi yang efektif
dan jangka panjang, analgetik yang adekuat, dan dukungan kesehatan fisik selama
fase aktif neuritis.Imobilisasi dan tindakan bedah dapat mencegah dan
memulihkan gangguan saraf. Tujuan
utama program pemberantasan kusta adalah menyembuhkan pasien kusta dan mencegah
timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari pasien kusta
terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan insidens
penyakit.
Prinsip pengobatan yaitu, pemberian obat anti
reaksi.Obat yang dapat digunakan adalah aspirin, klorokuin, prednison, dan
prednisolon sebagai anti implamasi. Dosis obat yang digunakan sebagai berikut :
Aspirin 600-1200 mg yang diberikan tiap
4 jam, 4-6 kali sehari. Klorokuin 3x150 mg/hari, Prednison 30-80 mg/hari, dosis
tunggal pada pagi hari sesudah makan atau dapat juga diberikan secara dosis
tertinggi misalnya : 4x2 tablet/hari, berangsur-angsur diturunkan 5-10 mg/2
minggu setelah terjadi respon maksimal.Untuk melepas ketergantungan pada
kortikosteroid pada reaksi tipe II (ENL) digunanakan talidomid.Dosis talidomid
400 mg/hari yang berangsur-angsur diturunkan sampai 50 mg/hari. Tidak
dianjurkan untuk wanita usia subur karena talidomid bersifat teratogenik.Setiap
2 minggu pasien harus diperiksa ulang untuk melihat keadaan klinis.Bila tidak
ada perbaikan maka dosis prednison yang diberikan dapat dilanjutkan 3-4 minggu
atau dapat ditingkatkan (misalnya dari 15 mg menjadi 20 mg sehari).Setelah ada
perbaikan dosis diturunkan.
Untuk mencegah
ketergantungan terhadap steroid, dapat diberikan klofazimin.Klofazimin hanya
diberikan pada reaksi tipe II (ENL kronis).Dosis klofazimin ditinggikan dari
dosis pengobatan kusta.Untuk orang dewasa 3x100 mg/hari selama 1 bulan. Bila
reaksi sudah berkurang maka dosis klofazimin itu diturunkan menjadi 2x100
mg/hari, selama 1 bulan diturunkan lagi menjadi 1x100 mg/ hari selama 1 bulan.
Setelah reaksi hilang pengobatan kembali ke dosis semula, yaitu 50 mg/hari.
H. Prognosis
Reaksi kusta terjadi karena meningkatnya status imunologis
penderita, umumnya reaksi ini terjadi setelah pengobatan yang disertai dengan
penurunan jumlah kuman pada pemeriksaan bakteriologi.Prognosis reaksi kusta
ditentukan dari seberapa cepat reaksi ini terdeteksi dan diobati. Semakin cepat
diterapi maka prognosis semakin baik, sedangkan jika tidak cepat dideteksi dan
ditangani akan menimbulkan kecacatan ireversibel pada sistem saraf tepi yang
terkena. Reaksi kusta ini dapat menimbulkan relaps. Seringkali pasien mengalami
gangguan sensorik maupun motorik secara tiba-tiba dan jika tidak mendapat
pengobatan segera akan menimbulkan gejala sisa, meskipun penyakitnya sudah
teratasi, tetapi masih bisa menimbulkan kecacatan permanen (sensorik maupun
motorik), dan beresiko tinggi untuk terjadinya suatu deformitas.
I.
Rehabilitasi
Usaha-usaha rehabilitasi meliputi medis, okupasi,
dan sosial. Usaha medis yang dapat dilakukan untuk cacat tubuh antara lain
operasi dan fisioterapi. Meskipun hasilnya tidak sempurna kembali ke asal,
fungsinya dapat diperbaiki.Lapangan pekerjaan dapat diusahakan untuk pasien
kusta yang sesuai dengan cacat tubuh.Tetapi kejiwaan berupa bimbingan mental
diupayakan sedini mungkin pada setiap pasien, keluarga, dan masyarakat
sekitarnya untuk memberikan dorongan dan semangat agar dapat menerima kenyataan
dan menjalani pengobatan dengan teratur dan benar sampai dinyatakan sembuh
sacara medis.Rehabilitasi sosial bertujuan memulihkan fungsi sosial ekonomi
pasien sehingga menunjang kemandiriannya dengan memberikan bimbingan sosial dan
peralatan kerja, serta membantu pemasaran hasil usaha pasien.
BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
Pada pengkajian klien penderita kusta dapat ditemukan
gejala-gejala sebagai berikut:
1.
Aktivitas/ istirahat.
Tanda: penurunan kekuatan otot, gangguan massa otot, perubahan tonus otot.
2.
Sirkulasi.
Tanda: Penurunan nadi perifer, vasokontriksi perifer.
3.
Integritas ego.
Gejala:
Masalah tentang keluarga, pekerjaan, keuangan, kecacatan,
Tanda:
Ansietas, menyangkal, menarik diri.
4. Makanan/cairan.
- Anoreksia.
5. Neurosensori.
Gejala: kerusakan saraf terutama saraf tepi, penekanan
saraf tepi.
Tanda: peruubahan
perilaku, penurunan refleks tendon.
6. Nyeri
kenyamanan.
Gejala: Tidak sensitive terhadap sentuhan, suhu, dan
tidak merasakan nyeri.
7. Pernapasan.
Gejala: Pentilasi tidak adekuat, takipnea.
8. Keamanan.
Tanda:
lesi kulit dapat tunggal/multiple, biasanya hipopigmentasi tetapi kadang-kadang
lesi kemerahan atau berwarna tembaga, lesi dapat berpariasi tetapi umumnya
berupa macula, papula dan nodul.
B. Diagnosa
Keperawatan
1.
Kerusakan
integritas kulit berhubungan dengan perubahan fungsi barier kulit.
2.
Gangguan
rasa nyaman nyeri berhubungan dengan reaksi ENL
3.
Gangguan
citra tubuh berhubungan dengan penampakan kulit yang tidak baik.
4.
Resiko terjadi infeksi berhubungan
dengan kerusakan pada kulit, pertahanan tubuh menurun
5.
Kurang
pengetahuan berhubungan dengan kurangnya imformasi terhadap perawatan kulit.
6.
Ansietas
berhubungan dengan perubahan status kesehatan.
C. Rencana/
Intervensi Keperawatan
1. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan
fungsi barier kulit.
Tujuan: Untuk
memelihara integritas kulit/ mencapai penyembuhan tepat waktu.
Intervensi:
a. Kaji
kulit setiap hari. Catat warna, turgor, sirkulasi dan sensasi. Gambarkan lesi
dan amati perubahan.
Rasional
: Menentukan garis dasar dimana perubahan pada status dapat dibandikan dan
lakukan intervensi yang tepat.
b. Pertahankan/intruksikan dalam hygiene kulit, misalnya
membasuh kemudian mengeringkannya dengan berhati-hati dan melakukan masase
dengan menggunakan losion atau krim.
Rasional : Masase
meningkatkan sirkulasi kulit dan meningkatkan kenyamanan.
c. Gunting
kuku secara teratur
Rasional
: Kuku yang panjang/kasar, meningkatkan resiko kerusakan dermal.
d. Dapatkan
kultur dari lesi kulit terbuka.
Rasional : Dapat
mengidentifikasi bakteri patogen dan pilihan perawatan yang sesuai.
e.
Gunakan/berikan
obat topical atau sistemik sesuai indikasi.
Rasional : Digunakan pada perawatan lesi kulit.
f.
Lindungi
lesi dengan salep antibiotic sesuai petunjuk.
Rasional
: Melindungi area lesi dari kontaminasi bakteri dan meningkatkan penyembuhan.
2.
Gangguan
rasa nyaman nyeri berhubungan dengan reaksi ENL
Tujuan : Rasa
nyaman terpenuhi dan nyeri berkurang setelah dilakukan tindakan keperawatan
Intervensi :
a.
Kaji skala nyeri
Rasional : Sebagai indikator dalam
melakukan intervensi selanjutnya dan untuk mengetahui sejauh mana nyeri
dipersepsikan
b. Monitor
keadaan umum dan tanda-tanda vital
Rasional : Tanda-tanda vital
berubah sesuai tingkat perkembangan penyakit dan menjadi indikator untuk
melakukan intervensi selanjutnya
c. Ajarkan teknik relaksasi nafas dalam
Rasional : Tehnik
nafas dalam dapat merelaksasi otot-otot sehingga mengurangi nyeri
d. Kolaborasi untuk pemberian obat antibiotik
dan analgetik.
Rasional : Pemberian
antibiotik menghambat pertumbuhan dan proses infeksi dari bakteri
sedangkan obat analgetik akan menekan atau mengurangi rasa nyeri
3. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan penampakan kulit
yang tidak baik.
Tujuan
: Klien dapat mengembangkan peningkatan penerimaan diri.
Intervensi
:
a. Kaji
adanya gangguan pada citra diri pasien (menghindari kontak mata, ucapan yang
merendahkan diri sendiri, ekspresi perasaan muak terhadap kondisi kulitnya.
Rasional : Gangguan citra diri akan
menyertai setiap penyakit atau keadaan yang tampak nyata bagi pasien. Kesan
seseorang terhadap dirinya sendiri akan berpengaruh pada konsep diri.
b.
Identifikasi
stadium psikososial tahap perkembangan.
Rasional
: Terdapat hubungan antara stadium perkenmbangan, citra diri dan reaksi serta
pemahaman pasioen terhadap kondisi kulitnya.
c.
Berikan
kesempatan untuk pengungkapan. Dengarkan (dengan cara yang terbuka, tidak
menghakimi) untuk mengespresikan berduka atau anseitas tentang perubahan citra
tubuh.
Rasional : Pasien membutuhkan pengalaman didengarkan dan
dipahami. Mendukung upaya pasien untuk
memperbaiki citra diri.
d. Bersikap realistic selama pengobatan, pada penyuluhan
kesehatan.
Rasional : Meningkatkan kepercayaan dan mengadakan
hubungan antara pasien dan perawat.
e.
Berikan
harapan dalam parameter situasi individu: jangan memberikan keyakinan yang
salah.
Rasional : Meningkatkan perilaku
positif dan memberikan kesempatan untuk menyusun tujuan dan rencana untuk masa
depan berdasarkan realita.
f.
Dorong
interaksi keluarga dan dengan tim rehabilitasi.
Rasional
: Mempertahankan pola komunikasi dan memberikan dukungan terus menerus pada pasien dan keluarga.
4.
Resiko terjadi infeksi berhubungan
dengan kerusakan pada kulit, pertahanan
tubuh menurun.
Tujuan : Mencapai
penyembuhan tepat waktu, tanpa komplikasi.
Intervensi :
a.
Ukur
tanda-tanda vital termasuk suhu
Rasional
: Memberikan imformasi data dasar, peningkatan suhu secara berulang-ulang dari demam yang terjadi
untuk menujukkan bahwa tubuh bereaksi pada
proses infeksi yang baru, dimana obat tidak lagi secara efektive mengontrol
infeksi yang tidak dapat disembuhkan.
b.
Tekankan
pentingnya tekhnik cuci tanganyang baik untuk semua individu yang dating kontak
dengan pasien
Rasional : Mengcegah kontaminasi
silang; menurungkan resiko infeksi.
c.
Gunakan
sapu tangan , masker dan tekniik aseptik selama perawatan dan
berikan pakaian yang steril atau baru
Rasional : Mengcegah terpajan pada organisme infeksius.
d. Observasi
lesi secara periodic
Rasional
: Untuk mengetahui perubahan respon terhadap terapi.
e.
Berikan
lingkungan yang bersih dan berventilasi yang baik. Periksa pengunjung atau staf
terhadap tanda infeksi dan pertahankan kewaspadaan sesuai indikasi.
Rasional : Mengurangi patogen pada system integument dan mengrangi
kemungkinan pasien mengalami infeksi nosokomial.
f.
Berikan
preparat antibiotic yang diresepkan dokter.
Rasional
: Membunuh atau mencegah pertumbuhan mikroorganisme penyebab infeksi.
5.
Kurang
pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi terhadap perawatan kulit.
Tujuan : Klien mendapatkan informasi yang adekuat
tentang perawatan kulit.
Intervensi :
a. Tentukan apakah pasien mengetahui (memahami dan salah
mengerti) tentang kindisi dirinya.
Rasional
: Memberikan data dasar untuk
mengembangkan rencana penyuluhan.
b.
Jaga
agar pasien mendapatkan informasi yang benar, memperbaiki kesalahan persepsi
/imformasi.
Rasional
: Pasien harus memiliki perasaan bahwa
ada sesuatu yang dapat mereka perbuat. Kebanyakan pasien merasakan mamfaat dan
merasa lebih.
c.
Berikan
imformasi yang spesifik dalam bentuk tulisan misalnya jadwal dalam minum obat.
Rasional
: Informasi tertulis dapat membantu
mengingatkan pasien.
d.
Jelaskan
penatalaksanaan minum obat: dosis, frekuensi, tindakan, dan perlunya terapi
dalam jangka waktu lama.
Rasional : Meningkatkan partisipasi klien, mematuhi aturan terapi dan mencegah
putus obat.
e.
Berikan
nasehat pada pasien untuk menjaga agar kulit tetap lembab dan fleksibel dengan
tindakan hidrasi serta lotion kulit.
Rasional
: Stratum korneum memerlukan air agar
fleksibilitas kulit btetap terjaga.. pemberian lotion untuk melembabkan kulit
akan mencegah agar kulit tidak menjadi kering, kasar, retak dan bersisik.
f.
Dorong
pasien agar mendapat status nutrisi yang sehat.
Rasional
: Penampakan kulit mencerminkan kesehatan
umum seseorang.perubahan pada kulit dapat mendakan status nutrisi yang
abnormal. Nutrisi yang optimal meningkatkan regenerasi jaringan dan penyembuhan
umum kesehatan.
g.
Tekankan
perlunya atau pentingnya mengevaluasi perawatan atau rehabilitasi.
Rasional : Dukungan
jangka panjang dengan evaluasi ulang kontinu dan perubahan terapi dibutuhkan
untuk penyembuhan optimal.
6. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan.
Tujuan: Pasien dapat menunjukkan penurunan ansietas
sehingga dapat menerimah perubahan status kesehatannya dengan cara sehat.
a.
Berikan
penjelasan yang sering dan imformasi tentang prosedur perawatan.
Rasional : Pengetahuan diharapkan menurunkan ketakutan dan ancietas,
memperjelas kesalahan konsep dan
meningkatkan kerjasama.
b. Libatkan
pasien atau orang terdekat dalam proses pengambilan keputusan.
Rasional : Meningkatkan
rasa control dan kerjasama, menurunkan perasaan tak berdaya atau putuis asa.
c. Kaji
status mental terhadap penyakit
Rasional : Pada awalnya pasien dapat men ggunakan
penyangkalan untuk menurungkan dan menyaring imformasi secara keseluruhan.
d.
Berikan
orientasi konstan dan konsisten.
Rasional
: Membantu pasien tetap berhubungan
dengan lingkungan dan realitas.
e.
Dorong
pasien untuk bicara tentang penyakitnya.
Rasional
: Pasien perlu membicarakan apa yang
terjadi terus menerus untuk membuat beberapa
rasa terhadap situasi apa yang menakutkan.
f. Jelaskan
pada pasien apa yanga terjadi. Berikan kesempatan untuk bertanya dan berikan
jawaban terbuka atau jujur.
Rasional : Pernyataan kompensasi menunjukkan realitas situasi yang dapat
membantu pasien atau orang terdekat menerima realitas dan mulai menerima apa
yang terjadi.
g.
Identifikasi
metode koping atau penanganan stuasi stress sebelumnya.
Rasional
: Perilaku masalalu yang berhasil dapat
digunakan untuk membantu situasi saat ini.
h. Dorong keluarga atau orang terdekat mengunjungi dan
mendiskusikan yang terjadi pada keluarga. Mengingatkan pasien
kejadian masa lalu dan akan datang.
Rasional
: Mempertahankan kontak dengan realitas
keluarga, membuat rasa kedekatan dan kesinambungan hidup.
DAFTAR PUSTAKA
Anakkomik.2010.Reaksi reversal. Http://anakkomik.blogspot.com/2010/01/reaksi-reversal.Html.
Last Update 9 April 2013.
Djuanda A. 2005.
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 4.
Jakarta : EGC.
Doenges, Marlyn E. 2000. Rencana
asuhan keperawatan Edisi 3. Jakarta : EGC
Mansjoer, Arif. 2009. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta
: Media Aesculapius. Nanda.
Price, Sylvia. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Psoses Penyakit Edisi 6.
Jakarta : EGC
Sjamsoe – Daili,
Emmi S. 2003. Kusta. Jakarta : Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
0 komentar:
Posting Komentar