BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Perdarahan
primer ialah perdarahan yang terjadi setelah persalinan sampai 24 jam
postpartum. Perdarahan primer salahsatunya di sebabkan oleh atonia uteri. Jika
penyebab perdarahan tersebut tidak teratasi dengan baik maka dapat menyebabkan
ibu post partum jatuh kedalam keadaan gawatdarurat. Oleh karena itu dalam
makalah ini kami membahas mengenai pengertian dari penyebab atonia uteri itu
sendiri, apa yang menyebabkannya, apa permasalahan atau komplikasi bila terjadi
atonia uteri, bagaimana tanda dan gejalanya, dan bagaimana upaya pencegahan
maupun penangannya.
B. Rumusan
Masalah
1.
Apa
pengertian atonia uteri
2.
Apa penyebab
terjadinya atonia uteri?
3.
Apa tanda
dan gejala atonia uteri?
4.
Bagaimana
upaya pencegahan dan penanganan atonia uteri?
C. Tujuan
1.
Mampu
menjelaskan pengertian atonia uteri.
2.
Mampu
menjelaskan penyebab terjadinya atonia uteri.
3.
Mampu
menjelaskan tanda dan gejala atonia uteri.
4.
Mampu
menjelaskan bagaimana upaya pencegahan dan penanganan atonia uteri.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Atonia Uteri
Atonia
uteri yaitu ketidakmampuan uterus untuk berkontraksi sebagaimana mestinya
setelah plasenta lahir. Perdarahan postpartum secara fisiologis dikontrol oleh
kontraksi serat-serat myometrium terutama yang berada disekitar pembuluh darah
yang mensuplai darah pada tempat perlengketan plasenta. Atonia uteri terjadi
ketika myometrium tidak dapat berkontraksi (Wiknjosastro,2002).
Atonia uteri
terjadi jika uterus tidak berkontraksi dalam 15 detik setelah dilakukan
rangsangan taktil (pemijatan) fundus uteri. Perdarahan postpartum dengan
penyebab uteri tidak terlalu banyak dijumpai karena penerimaan gerakan keluarga
berencana makin meningkat (Manuaba & APN).
Atonia uteria adalah gagalnya uterus
berkontraksi yang baik setelah persalinan. Perdarahan postpartum adalah
perdarahan ≥ 500 ml dalam masa 24 jam
setelah anak lahir, termasuk adalah perdarahan karena retensio plasenta.
Frekuensi kejadian menurut waktu terjadinya dibagi atas dua bagian :
1.
Perdarahan postpartum primer (early postpartum hemorrhage)
yang terjadi dalam 24 jam setelah anak lahir.
2.
Perdarahan postpartum sekunder (late postpartum hemorrhage)
(Saadong, D 2013)
Atonia merupakan penyebab tersering perdarahan
postpartum, sekurang-kurangnya 2/3 dari semua perdarahan postpartum disebabkan
oleh atonia uteri. Upaya penanganan perdarahan postpartum disebabkan atonia
uteri, harus dimulai dengan mengenal ibu yang memiliki kondisi yang berisiko
terjadinya atonia uteri. (Sihotang, C 2008)
B. Etiologi
Atonia uteri dapat terjadi pada ibu hamil dan melahirkan dengan faktor
predisposisi (penunjang ) seperti :
a.
Overdistention uterus
seperti: gemeli makrosomia, polihidramnion, atau paritas tinggi.
b.
Umur yang terlalu muda atau
terlalu tua.
c.
Multipara dengan jarak
kelahiran pendek
d.
Partus lama / partus
terlantar
e.
Malnutrisi.
f.
Penanganan salah dalam
usaha melahirkan plasenta, misalnya plasenta belum terlepas dari dinding
uterus.
C. Tanda dan
Gejala
a.
Uterus tidak
berkontraksi dan lembek
Gejala ini merupakan gejala terpenting/khas atonia
uteri dan yang membedakan atonia dengan penyebab perdarahan yang lainnya.
b.
Perdarahan
segera setelah anak lahir (post partum primer).
Perdarahan yang terjadi pada kasus atonia uteri sangat
banyak dan tidak merembes. Yang sering terjadi adalah darah keluar disertai
gumpalan, hal ini terjadi karena tromboplastin sudah tidak lagi sebagai anti beku darah.
c.
Fundus uteri
naik
Disebabkan
adanya darah yang terperangkap dalam cavum uteri dan menggumpal.
d.
Terdapat
tanda-tanda syok
Tekanan darah
rendah, denyut nadi cepat dan kecil, ekstrimitas dingin, gelisah, mual, apatis,
dll.
D. Pencegahan atonia uteri.
Atonia uteri dapat dicegah dengan Managemen aktif kala
III, yaitu pemberian oksitosin segera setelah bayi lahir (Oksitosin injeksi 10U
IM, atau 5U IM dan 5 U Intravenous atau 10-20 U perliter Intravenous drips
100-150 cc/jam. Pemberian oksitosin rutin pada kala III dapat mengurangi risiko
perdarahan pospartum lebih dari 40%, dan juga dapat mengurangi kebutuhan obat
tersebut sebagai terapi.
E. Penatalaksanaan
atonia uteri
a.
Resusitasi
Apabila terjadi perdarahan pospartum banyak, maka
penanganan awal yaitu resusitasi dengan oksigenasi dan pemberian cairan cepat,
monitoring tanda-tanda vital, monitoring jumlah urin, dan monitoring saturasi
oksigen. Pemeriksaan golongan darah dan crossmatch perlu dilakukan untuk
persiapan transfusi darah.
b. Masase dan
kompresi bimanual
Masase dan kompresi bimanual akan menstimulasi
kontraksi uterus yang akan menghentikan perdarahan.Pemijatan fundus uteri
segera setelah lahirnya plasenta (max 15 detik), Jika uterus berkontraksi maka
lakukan evaluasi, jika uterus berkontraksi tapi perdarahan uterus berlangsung,
periksa apakah perineum / vagina dan serviks mengalami laserasi dan jahit atau
rujuk segera
c. Jika uterus tidak
berkontraksi maka :
Bersihkanlah bekuan darah atau selaput ketuban dari
vagina & lobang serviks. Pastikan bahwa kandung kemih telah kosong, lakukan
kompresi bimanual internal (KBI) selama 5 menit.
1) Jika uterus
berkontraksi, teruskan KBI selama 2 menit, keluarkan tangan
perlahan-lahan dan pantau kala empat dengan ketat.
2) Jika uterus tidak
berkontraksi, maka : Anjurkan keluarga untuk mulai melakukan kompresi bimanual
eksternal; Keluarkan tangan perlahan-lahan; Berikan ergometrin 0,2 mg LM
(jangan diberikan jika hipertensi); Pasang infus menggunakan jarum ukuran 16
atau 18 dan berikan 500 ml RL + 20 unit oksitosin. Habiskan 500 ml pertama
secepat mungkin; Ulangi KBI
3) Jika uterus
berkontraksi, pantau ibu dengan seksama selama kala empat
4) Jika uterus tidak
berkontraksi maka rujuk segera
d. Pemberian
Uterotonika
Oksitosin merupakan hormon sintetik yang diproduksi
oleh lobus posterior hipofisis. Obat ini menimbulkan kontraksi uterus yang
efeknya meningkat seiring dengan meningkatnya umur kehamilan dan timbulnya
reseptor oksitosin. Pada dosis rendah oksitosin menguatkan kontraksi dan
meningkatkan frekwensi, tetapi pada dosis tinggi menyebabkan tetani. Oksitosin
dapat diberikan secara IM atau IV, untuk perdarahan aktif diberikan lewat infus
dengan ringer laktat 20 IU perliter, jika sirkulasi kolaps bisa diberikan
oksitosin 10 IU intramiometrikal (IMM). Efek samping pemberian oksitosin sangat
sedikit ditemukan yaitu nausea dan vomitus, efek samping lain yaitu intoksikasi
cairan jarang ditemukan.
Metilergonovin maleat merupakan golongan ergot
alkaloid yang dapat menyebabkan tetani uteri setelah 5 menit pemberian IM.
Dapat diberikan secara IM 0,25 mg, dapat diulang setiap 5 menit sampai dosis
maksimum 1,25 mg, dapat juga diberikan langsung pada miometrium jika diperlukan
(IMM) atau IV bolus 0,125 mg. obat ini dikenal dapat menyebabkan vasospasme
perifer dan hipertensi, dapat juga menimbulkan nausea dan vomitus. Obat ini
tidak boleh diberikan pada pasien dengan hipertensi.
Uterotonika prostaglandin merupakan sintetik analog
15 metil prostaglandin F2alfa. Dapat diberikan secara intramiometrikal,
intraservikal, transvaginal, intravenous, intramuscular, dan rectal. Pemberian
secara IM atau IMM 0,25 mg, yang dapat diulang setiap 15 menit sampai dosis
maksimum 2 mg. Pemberian secara rektal dapat dipakai untuk mengatasi perdarahan
pospartum (5 tablet 200 µg = 1 g). Prostaglandin ini merupakan uterotonika yang
efektif tetapi dapat menimbulkan efek samping prostaglandin seperti: nausea,
vomitus, diare, sakit kepala, hipertensi dan bronkospasme yang disebabkan
kontraksi otot halus, bekerja juga pada sistem termoregulasi sentral, sehingga
kadang-kadang menyebabkan muka kemerahan, berkeringat, dan gelisah yang
disebabkan peningkatan basal temperatur, hal ini menyebabkan penurunan saturasi
oksigen. Uterotonika ini tidak boleh diberikan pada pasien dengan kelainan
kardiovaskular, pulmonal, dan disfungsi hepatik. Efek samping serius
penggunaannya jarang ditemukan dan sebagian besar dapat hilang sendiri. Dari
beberapa laporan kasus penggunaan prostaglandin efektif untuk mengatasi
perdarahan persisten yang disebabkan atonia uteri dengan angka kesuksesan 84%-96%.
Perdarahan pospartum dini sebagian besar disebabkan oleh atonia uteri maka
perlu dipertimbangkan penggunaan uterotonika ini untuk mengatasi perdarahan
masif yang terjadi.
e. Operatif
Beberapa penelitian tentang ligasi arteri uterina
menghasilkan angka keberhasilan 80-90%. Pada teknik ini dilakukan ligasi arteri
uterina yang berjalan disamping uterus setinggi batas atas segmen bawah rahim.
Jika dilakukan SC, ligasi dilakukan 2-3 cm dibawah irisan segmen bawah rahim.
Untuk melakukan ini diperlukan jarum atraumatik yang besar dan benang
absorbable yang sesuai. Arteri dan vena uterina diligasi dengan melewatkan
jarum 2-3 cm medial vasa uterina, masuk ke miometrium keluar di bagian
avaskular ligamentum latum lateral vasa uterina. Saat melakukan ligasi hindari
rusaknya vasa uterina dan ligasi harus mengenai cabang asenden arteri
miometrium, untuk itu penting untuk menyertakan 2-3 cm miometrium. Jahitan
kedua dapat dilakukan jika langkah diatas tidak efektif dan jika terjadi
perdarahan pada segmen bawah rahim. Dengan menyisihkan vesika urinaria, ligasi
kedua dilakukan bilateral pada vasa uterina bagian bawah, 3-4 cm dibawah ligasi
vasa uterina atas. Ligasi ini harus mengenai sebagian besar cabang arteri
uterina pada segmen bawah rahim dan cabang arteri uterina yang menuju ke
servik, jika perdarahan masih terus berlangsung perlu dilakukan bilateral atau
unilateral ligasi vasa ovarian.
f.
Ligasi arteri Iliaka
Interna
Identiffikasi bifurkasiol arteri iliaka, tempat ureter
menyilang, untuk melakukannya harus dilakukan insisi 5-8 cm pada peritoneum
lateral paralel dengan garis ureter. Setelah peritoneum dibuka, ureter ditarik
ke medial kemudian dilakukan ligasi arteri 2,5 cm distal bifurkasio iliaka
interna dan eksterna. Klem dilewatkan dibelakang arteri, dan dengan menggunakan
benang non absobable dilakukan dua ligasi bebas berjarak 1,5-2 cm. Hindari
trauma pada vena iliaka interna. Identifikasi denyut arteri iliaka eksterna dan
femoralis harus dilakukan sebelum dan sesudah ligasi.Risiko ligasi arteri
iliaka adalah trauma vena iliaka yang dapat menyebabkan perdarahan. Dalam
melakukan tindakan ini dokter harus mempertimbangkan waktu dan kondisi pasien.
Teknik B-Lynch
Teknik B-Lynch dikenal juga dengan “brace suture”,
ditemukan oleh Christopher B Lynch 1997, sebagai tindakan operatif alternative
untuk mengatasi perdarahan pospartum akibat atonia uteri.
g. Histerektomi
Histerektomi peripartum merupakan tindakan yang
sering dilakukan jika terjadi perdarahan pospartum masif yang jmembutuhkan
tindakan operatif. Insidensi mencapai 7-13 per 10.000 kelahiran, dan lebih
banyak terjadi pada persalinan abdominal dibandingkan vaginal.
h. Kompresi bimanual
atonia uteri
Raba arteri femoralis dengan ujung jari tangan kiri, pertahankan
posisi tersebut. Genggam tangan kanan kemudian tekankan pada daerah umbilikus,
tegak lurus dengan sumbu badan, sehingga mencapai kolumna vertebralis.
Penekanan yang tepat, akan mengehntikan atau mengurangi denyut arteri
pemoralis. Lihat hasil kompresi dengan memperhatikan perdarahan yang terjadi.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Atonia
Uteri adalah uterus tidak berkontraksi dalam 15 detik setelah dilakukan masase
fundus uteri (plasenta telah lahir). Atonia uteri merupakan penyebab terbanyak perdarahan pospartum dini
(50%), dan merupakan alasan paling sering untuk melakukan histerektomi
postpartum.
B. Saran
Disarankan kepada bidan yang menolong persalinan dengan
permasalahan atonia uteri agar mampu memberikan upaya penanganan dan pencegahan
atonia uteri yang adekuat serta selalu memperhatikan upaya pencegahan infeksi
dalam setiap memberikan asuhan.
Daftar Pustaka
Manuaba,
G. 1998. Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana Untuk
Pendidikan Bidan. Jakarta : EGC
Wiknjosastro,
Hanifa. 2007. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo
Prawirohardjo,
S. 2000. Ilmu Bedah Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo
Sukarni
K, Icesmi dan Margaret ZH. 2013. Kehamilan, Persalinan dan Nifas. Yogyakarta :
Nuha Medika
Saadong,
Djuhadiah. 2013. Asuhan Kebidanan Persalinan Normal dan Patologi. Makassar :
Buku Ajar khusus Lingkungan Poltekkes Kemenkes Makassar Jurusan Kebidanan.
Sihotang,
Corry. 2008. Asuhan Kebidanan Patologi. Makassar : Buku Ajar khusus Lingkungan
Poltekkes Kemenkes Makassar Jurusan Kebidanan.
0 komentar:
Posting Komentar