Rabu, 28 Mei 2014

MAKALAH INFEKSI SALURAN KEMIH

Diposting oleh Unknown di 02.02



Infeks saluran kemih

Infeksi saluran kemih merupakan iinfeksi karena bakter yang sangat menggangu. Ini terjadi karena saluran kemih berdilatasi  akibat relaksasi otot-otot ureter dan kandung kenih selama hamil sehingga menyebabkan statis urin.
Bakterurea asimtomatik

Prevalens bakteriuria asmtomik (didefinisikan sebagai bakteri > 100.000 bakteri per ml urine) pada waktu  wanita sedang tidak hamil adalah kira-kira 2% . prevalensi in pada kehamilan meningkat menjadi 3-8 % karena perubahan fisiologi, dan 30% wanita hamil yang mengalami bakteriunaria asimtomatik akan mengalami infeksi saluran kemih simtomatik. Jika infeksi ini tidak diobati , maka kermungkinan sedkit lebih besar untuk mendapat hipertensi pada kehaimlan dan resiko melahirkan bayi dengan berat badan rendah menjadi dua kali lipat.
Karena resiko i ni banyak penulis yang menganjurkan kepada ibu hamil untuk menjalani skrining bakteriruria asimtomik pada hamil dini. Pengobatan bakteriuria asimtomik adalah memberikan amoksilin 3 gram atau safaleksi 2 gram selama dosis tunggsl atau dosis yang sesuai selama 5-7 hari. Setelah 7 hari pengobatan dengan antibiotik, diperiksa kembali urine porsi tengah . jika bakteriuria asimtomik tidak juga hlang, diberikan antibiotik dalam jangka waktu lebih lama. Harus dilakukan flow up trhadap kultur urine secara teratur, dan rekureni harus dobati.

Pielonefritis

      Kira-kira 30% wanita dengan bakteriuria yang tidak diobati akan mengalami pielonefritis selama kehamilan, dibandngkan dibandingkan dengan 1 % pada wanita yang tidak mengalami bakteriura.
Infeksi terjadi jika bakteri yang tumbuh di dalam urine yang stagnan menyebar dari kandung kemih ke ureter kemudian ke pervs renalis. Infeksi hematogen sangat jaran terjadi.
Pielonafritis biasanya terjad saatkehamilan menginjak 20 minggu. Pada kasusumum keluhan seperti sering capek dan sering BAK dan kadang disuria. Infeksi yang lebih berat mulai dengan cepat disertai dengan menggigil dan pegal-pegal, demam, dan nyeri pada salah satu atau kedua daerah ginjal dan penderita  cepat mengsal dehidrasi. Dagnoss dkonfirmasi dengan memeriksa spesimen urine porsi tengah, dengan menyingkirkan nyeri abdomen lain seperti apendisitis akut dan abruptio placentae.
Pengobatn adalah mengoreksi dehidrasi dan memberikan antibiotik yang sesuai setelah melakukan sensitivitas bakteri. Pada kebanyakan kasus dapat diberikan pengobatan dengan sepalosporin atau amoksilin inisial. Karena beberapa penderita pielonefritis mengalami nausea antibiotika dapat  dbeikan melalui intravena. Harus dilakukan pemeriksaan follow up kultur urine porsi tengah pada interval 2 minggu untuk sisa kehamilan. Beberapa sarjana menanjurkan antibiotik profilaksis selama kehamilan.

1. Toksoplasmosis

Infeksi ini disebabkan oleh parasit (protozoan parasite Toxoplasma gondii) yang ditularkan dari hewan bertubuh panas kepada manusia. Parasit ini masuk ke dalam tubuh manusia melalui makanan. Sumber terutamanya adalah daging yang tidak dimasak matang atau sayuran mentah. Tangan yang tercemar toksoplasma juga bisa menjadi media penularan jika kita tidak mencuci tangan sebelum makan.

Pada kasus infeksi maternal primer yang terjadi pada kehamilan, parasit bisa ditularkan dari plasenta dan menyebabkan cacat pada janin berupa gangguan penglihatan atau keguguran spontan, meski persentasenya kecil.

Pada umumnya, infeksi Toxoplasma terjadi tanpa disertai gejala yang spesifik. Kira-kira hanya 10-20% kasus infeksi Toxoplasma yang disertai gejala ringan, mirip gejala influenza, bisa timbul rasa lelah, malaise, demam, dan umumnya tidak menimbulkan masalah.

Infeksi Toxoplasma berbahaya bila terjadi saat ibu sedang hamil atau pada orang dengan sistem kekebalan tubuh terganggu (misalnya penderita AIDS, pasien transpalasi organ yang mendapatkan obat penekan respon imun). Jika wanita hamil terinfeksi Toxoplasma maka akibat yang dapat terjadi adalah abortus spontan atau keguguran (4%), lahir mati (3%) atau bayi menderita Toxoplasmosis bawaan.

Pada Toxoplasmosis bawaan, gejala dapat muncul setelah dewasa, misalnya kelainan mata dan telinga, retardasi mental, kejang-kejang dan ensefalitis.

Diagnosis Toxoplasmosis secara klinis sukar ditentukan karena gejala-gejalanya tidak spesifik atau bahkan tidak menunjukkan gejala (sub klinik). Oleh karena itu, pemeriksaan laboratorium mutlak diperlukan untuk mendapatkan diagnosis yang tepat. Pemeriksaan yang lazim dilakukan adalah Anti-Toxoplasma IgG, IgM dan IgA, serta Aviditas Anti-Toxoplasma IgG. Pemeriksaan tersebut perlu dilakukan pada orang yang diduga terinfeksi Toxoplasma, ibu-ibu sebelum atau selama masa hamil (bila hasilnya negatif pelu diulang sebulan sekali khususnya pada trimester pertma, selanjutnya tiap trimeter), serta bayi baru lahir dari ibu yang terinfeksi Toxoplasma.

2. Infeksi rubella

Infeksi ini juga dikenal dengan campak Jerman dan sering diderita anak-anak. Rubella yang dialami pada tri semester pertama kehamilan 90 persennya menyebabkan kebutaan, tuli, kelainan jantung, keterbelakangan mental, bahkan keguguran. Ibu hamil disarankan untuk tidak berdekatan dengan orang yang sedang sakit campak Jerman.

Untuk mencegah infeksi rubella, kaum wanita disarankan untuk melakukan vaksinasi. Perlindungannya mencapai 100 persen. Infeksi Rubella ditandai dengan demam akut, ruam pada kulit dan pembesaran kelenjar getah bening.

Infeksi ini disebabkan oleh virus Rubella, dapat menyerang anak-anak dan dewasa muda. Infeksi Rubella berbahaya bila tejadi pada wanita hamil muda, karena dapat menyebabkan kelainan pada bayinya. Jika infeksi terjadi pada bulan pertama kehamilan maka risiko terjadinya kelainan adalah 50%, sedangkan jika infeksi tejadi trimester pertama maka risikonya menjadi 25%.

Tanda tanda dan gejala infeksi Rubella sangat bervariasi untuk tiap individu, bahkan pada beberapa pasien tidak dikenali, terutama apabila ruam merah tidak tampak. Oleh Karena itu, diagnosis infeksi Rubella yang tepat perlu ditegakkan dengan bantuan pemeriksaan laboratorium.Pemeriksaan Laboratorium yang dilakukan meliputi pemeriksaan Anti-Rubella IgG dana IgM. Pemeriksaan Anti-rubella IgG dapat digunakan untuk mendeteksi adanya kekebalan pada saat sebelum hamil. Jika ternyata belum memiliki kekebalan, dianjurkan untuk divaksinasi. Pemeriksaan Anti-rubella IgG dan IgM terutama sangat berguna untuk diagnosis infeksi akut pada kehamilan < 18 minggu dan risiko infeksi rubella bawaan.

3. Cytomegalovirus (CMV)

CMV merupakan keluarga virus herpes. Infeksi CMV disebabkan oleh virus Cytomegalo, dan virus ini temasuk golongan virus keluarga Herpes. Seperti halnya keluarga herpes lainnya, virus CMV dapat tinggal secara laten dalam tubuh dan CMV merupakan salah satu penyebab infeksi yang berbahaya bagi janin bila infeksi yang berbahaya bagi janin bila infeksi terjadi saat ibu sedang hamil. Transmisi vertikal dari ibu ke bayi melalui transplacental. Infeksi CMV pada ibu hamil bisa secara primer atau rekuren.
Infeksi primer pada ibu hamil ditandai dengan terjadinya serokonversi dari IgG antibodi CMV selama kehamilan atau didapatkan IgG dan IgM CMV bersama-sama selama kehamilan. Sedangkan infeksi rekuren ditandai adanya antibodi CMV pada fase sebelum terjadinya pembuahan. Pada infeksi primer, transmisi infeksi ke bayi sebesar 40%. Adanya IgG anti CMV pada ibu hamil tidak memberi perlindungan kepada bayi, sehingga kelainan kongenital mungkin terjadi. 
Pemeriksaan laboratorium sangat bermanfaat untuk mengetahui infeksi akut atau infeski berulang, dimana infeksi akut mempunyai risiko yang lebih tinggi. Pemeriksaan laboratorium yang silakukan meliputi Anti CMV IgG dan IgM, serta Aviditas Anti-CMV IgG.Virus ini ditularkan melalui kontak seksual atau selama kehamilan. Akibat infeksi ini bisa fatal karena menyebabkan cacat bawaan pada janin. Belum ada pengobatan yang bisa mencegah infeksi virus ini.

4. Herpes simplex

Virus herpes terdiri dari 2 jenis, yaitu herpes simplex 1 (HSV-1) dan herpes simplex virus 2 (HSV 2). Penularan biasanya terjadi pada kontak seksual pada orang dewasa. HSV 1 juga bisa ditularkan melalui kontak sosial pada masa anak-anak. Prevelansi HSV 2 lebih tinggi pada kelompok HIV positif dan mereka yang melakukan hubungan seks tanpa kondom. Infeksi herpes pada alat genital (kelamin) disebabkan oleh Virus Herpes Simpleks tipe II (HSV II). Virus ini dapat berada dalam bentuk laten, menjalar melalui serabut syaraf sensorik dan berdiam diganglion sistem syaraf otonom.
Bayi yang dilahirkan dari ibu yang terinfeksi HSV II biasanya memperlihatkan lepuh pada kulit, tetapi hal ini tidak selalu muncul sehingga mungkin tidak diketahui. Infeksi HSV II pada bayi yang baru lahir dapat berakibat fatal (Pada lebih dari 50 kasus) Pemeriksaan laboratorium, yaitu Anti-HSV II IgG dan Igm sangat penting untuk mendeteksi secara dini terhadap kemungkinan terjadinya infeksi oleh HSV II dan mencegah bahaya lebih lanjut pada bayi bila infeksi terjadi pada saat kehamilan.

Fakta Mengenai Infeksi TORCH Pada Kehamilan

  • Infeksi TORCH merupakan gangguan pada kehamilan yang bisa membahayakan janin. Jika infeksi ini diketahui di awal masa kehamilan, risiko penularan dari ibu pada janin bisa dikurangi sehingga cacat bawaan bisa dicegah.
  • Infeksi TORCH dapat menyebabkan 5-10 persen keguguran dan cacat bawaan pada janin yang meliputi gangguan pendengaran, retardasi mental serta kebutaan. Sebagian besar cacat itu bisa dicegah dengan melakukan skrining TORCH di trimester pertama kehamilan. Jika hasilnya negatif, para ibu bisa diberi edukasi pentingnya menjaga kebersihan diri. Namun jika hasilnya positif, dokter bisa memberikan pengobatan untuk menurunkan risiko transmisi dari ibu ke janin.
  • Di Indonesia, dari 54.000 kehamilan yang terinfeksi toksoplasma 70 persennya memiliki antibodi. Sementara itu, 60 persen wanita memiliki antibodi terhadap virus herpes simplex. Kendati demikian, 50-85 persen ibu hamil yang terinfeksi rubela di trimester pertama kehamilan janinnya beresiko tinggi mengalami cacat organ.
  • Pada 10.000 ibu hamil yang hasil skriningnya positif TORCH, hanya 10 saja yang hasil diagnostiknya juga positif. Karena itu, skrining TORCH masih diperdebatkan keakuratannya. Skrining prenatal hanya disarankan untuk mereka yang termasuk dalam kelompok berisiko tinggi, misalnya ibu yang terinfeksi HIV. Untuk memberikan pengobatan pun standarnya adalah hasil diagnostiknya positif.
  • Pemeriksaan diagnostik dilakukan dengan cara pengambilan sedikit air ketuban untuk diperiksa di laboratorium. Hasilnya jauh lebih akurat dibanding dengan skrining berupa pengambilan darah. Jika hasil skrining positif baru disarankan untuk melakukan diagnostik tes sebelum diberikan pengobatan. Saat ini, pemeriksaan TORCH masih tergolong mahal untuk kebanyakan masyarakat. Akan tetapi, tindakan preventif jauh lebih murah daripada kuratif.

Dampak TORCH Pada Bayi

1.  Toksoplasmosis

  • Pada wanita hamil, toksoplasma berdampak signifikan yaitu bisa mengakibatkan keguguran dan cacat.
  • Tiga serangkai klasik dampak pada bayi akibat infeksi toksoplasmosis pada kehamilan adalah meliputi korioretinitis, hidrosefalus, dan kalsifikasi intrakranial.
  • Gangguan yang dapat terjadi pada bayi dan janin akibat Toksoplasmosis pada kehamilan adalah: cairan tulang belakang tidak normal, anemia, Chorioretinitis, Kejang , Tuli, Demam, Growth retardation (gangguan pertumbuhan), Hepatomegaly (pembesaran liver), Hydrocephalus, Intracranial calcifications (pengapyran di otak), Kuning, Gangguan Belajar, Lymphadenopathy (pembedsaran kelenjar), Maculopapular rash (kemerahan kulit), Mental retardation (gangguan kecerdasan), Microcephaly (ukuran kepala kecil), Spasticity and palsies (kelumpuhan dan kelemahan otot), Splenomegaly (limpa membesar), Thrombocytopenia dan gangguan penglihatan
  • Toksoplasmosis kongenital hampir mirip penyakit yang disebabkan oleh organisme seperti virus herpes simplex, cytomegalovirus, dan virus rubella.  Bayi prematur dengan toksoplasmosis dapat mengembangkan SSP dan penyakit mata pada tiga bulan pertama kehidupan. Sebaliknya, T. gondii yang terinfeksi penuh  bayi lebih sering memiliki manifestasi penyakit ringan, dengan hepatosplenomegali dan limfadenopati dalam dua bulan pertama. Meskipun sebagian besar bayi terinfeksi dalam kandungan dilahirkan tanpa tanda-tanda jelas toksoplasmosis pada pemeriksaan rutin bayi baru lahir, hingga 80 persen mengakibatkan cacat visual di kemudian hari.
  • Infeksi kongenital itu berdampak pengurangan ketajaman visual dan lesi mata baru dapat terjadi melalui dekade ketiga kehidupan atau bahkan kemudian. Masalah pada mata memerlukan evaluasi ophthalmologic lengkap.
  • 90% bayi yang terinfeksi toksoplasma menderita gangguan penglihatan sampai buta setelah beberapa bulan atau beberapa tahun sejak ia lahir. Dari jumlah tersebut, 10% dapat mengalami gangguan pendengaran.
  • Bayi yang terinfeksi toksoplasma akan beresiko mengalami 85% terkena retardasi mental, 75% mengalami gangguan saraf, 50% mengalami gangguan penglihatan dan 15% mengalami gangguan pendengaran.
  • Indikasi infeksi pada bayi dapat diketahui melalu USG yang memperlihatkan adanya cairan berlebihan pada perut, pengapuran pada otak serta pelebaran saluran otak. Bayi yang terinfeksi toksoplasma akan mengalami gangguan fungsi saraf yang mengakibatkan keterlambatan perkembangan psikomotor dalam bentuk gangguan kecerdasan maupun keterlambatan perkembangan bicara, serta kejang kejang dan kekakuan yang akhirnya menimbulkan keterlambatan motorik. Toksoplasma juga berpotensi menyebabkan cacat bawaan, terutama bila terjadi pada usia kehamilan awal,sampai 3 bulan dan bahkan kematian.

2.  Rubela

  • Infeksi Rubella pada kehamilan dapat menyebabkan keguguran, bayi lahir mati atau gangguan terhadap janin. Sebanyak 50% lebih ibu yang mengalami Rubella tidak merasa apa-apa. Sebagian lain mengalami demam, tulang ngilu, kelenjar belakang telinga membesar dan agak nyeri. Setelah 1-2 hari muncul bercak-bercak merah seluruh tubuh yang hilang dengan sendirinya setelah beberapa hari.
  • Berdasarkan data dari WHO, paling tidak 236.000 kasus Sindrom Rubella Kongenital terjadi setiap tahun di negara-negara berkembang dan dapat meningkat 10 kali lipat pada saat terjadi epidemi Tidak semua janin akan tertular. Jika ibu hamil terinfeksi saat usia kehamilannya < 12 minggu maka risiko janin tertular 80-90 persen. Jika infeksi dialami ibu saat usia kehamilan 15-30 minggu, maka risiko janin terinfeksi turun yaitu 10-20 persen. Namun, risiko janin tertular meningkat hingga 100 persen jika ibu terinfeksi saat usia kehamilan > 36 minggu.
  • Sindrom Rubella Kongenital biasanya terjadi hanya bila ibu terinfeksi pada saat umur kehamilan masih kurang dari 4 bulan. Bila sudah lewat 5 bulan, jarang sekali terjadi infeksi.
  • Sindrom Rubella Kongenital akibatnya katarak pada lensa mata bayi, gangguan pendengaran atau tuli, gangguan jantung, dan kerusakan otak. Di samping itu, bayi juga berisiko lebih besar untuk terkena diabetes melitus, gangguan tiroid, gangguan pencernaan dan gangguan syaraf (pan-encephalitis)

3. Cytomegalovirus (CMV)

  • Infeksi Cytomegalovirus (CMV) kongenital terjadi sekitar 30.000-40.000 bayi dilahirkan setiap tahun di Amerika Serikat, membuat Cytomegalovirus merupakan infeksi yang paling umum dan penting dari semua infeksi kongenital.
  • Kemungkinan infeksi dan luasnya penyakit pada bayi baru lahir tergantung pada status kekebalan ibu. Jika infeksi primer ibu terjadi selama kehamilan, tingkat rata-rata transmisi ke janin adalah 40%, sekitar 65% dari bayi ini memiliki penyakit Cytomegalovirus saat lahir. Dengan infeksi ibu yang berulang, risiko penularan pada janin lebih rendah, berkisar 0,5-1,5%, dengan sebagian besar bayi tampak normal saat lahir .
  • Sekitar 10% bayi dengan infeksi kongenital memiliki bukti klinis penyakit saat lahir. Bentuk yang paling parah dari infeksi CMV kongenital disebut sebagai Cytomegalic inclusion disease (CID). CID hampir selalu terjadi pada wanita yang memiliki infeksi sitomegalovirus primer selama kehamilan, meskipun kasus yang jarang dijelaskan pada wanita dengan kekebalan yang sudah ada sebelumnya yang mungkin memiliki reaktivasi infeksi selama kehamilan.
  • CID ditandai dengan retardasi pertumbuhan intrauterin, hepatosplenomegali, abnormalitas hematologi (trombositopenia), dan manifestasi kulit berbagai, termasuk petechiae dan purpura (blueberry muffin bayi). Namun, manifestasi paling signifikan dari CID melibatkan SSP. Mikrosefali, ventrikulomegali, atrofi otak, korioretinitis, dan gangguan pendengaran sensorineural konsekuensi neurologis yang paling umum dari CID.
  • Kalsifikasi intraserebral biasanya menunjukkan distribusi periventricular dan yang biasa ditemui menggunakan CT scan. Temuan kalsifikasi intrakranial adalah prediksi defisit kognitif dan audiologic di kemudian hari dan memprediksi prognosis perkembangan buruk persarafan.
  • Jika ibu hamil terinfeksi, maka janin yang dikandung mempunyai risiko tertular sehingga mengalami gangguan misalnya pembesaran hati, kuning, pekapuran otak, ketulian, retardasi mental, dan lain-lain. Bayi akan kehilangan pendengaran (tuli).
  • Sekitar 20%  dijumpai pada bayi yang terinfeksi virus adalah Limpa atau hati membesar disertai gejala kuning pada kulit atau mata. 90% bayi yang masih bertahan akan mengalami gangguan saraf berat seperti keterlambatan perkembangan mental.
  • Bila seorang ibu hamil didiagnosa tertular virus sitomegalo, janin dalam kandungan bisa diperiksa dengan melakukan pemeriksaan amniosintesa. Cara pemeriksaan ini hampir 80% dapat mendeteksi bayi apakah juga terinfeksi virus atau tidak. Tetapi tetap belum dapat diketahui apakah bayi menderita penyakit berat atau tidak. Namun demikian, periksaan USG pada janin dalam kandungan, bisa mengetahui kelainan otak dan organ lain.
  • Pada bayi baru lahir, 10% diantaranya akan menunjukkan gejala klinik berupa: IUGR, Ikterus (kuning), Hepatosplenomegali (pembesaran liver dan limpa), Ptekie sampai purpura (perdarahan bawah kulit), Pneumonia. Biasanya juga dijumpai kelainan kongenital lain seperti: penyakit jantung bawaan (defek septal), atresia bilier, hernia inguinalis dan abnormalitas musculoskeletal. Kebanyakan bayi yang bertahan hidup gejala CID memiliki gejala sisa neurologis dan perkembangan saraf jangka panjang yang signifikan .
  • Memang, telah diperkirakan bahwa sitomegalovirus kongenital mungkin terjadi pada kasus sindrom Down sebagai diketahui penyebab keterbelakangan mental pada anak.

4. Herpes Simpleks

Bayi paling berisiko tertular herpes neonatus bila ibunya sendiri tertular herpes simpleks pada akhir masa kehamilan. Hal ini terjadi karena ibu yang baru tertular belum memiliki antibodi terhadap virus, sehingga tidak ada perlindungan untuk bayi saat lahir. Tambahan, infeksi herpes baru sering aktif, sehingga ada kemungkinan yang lebih tinggi bahwa virus akan timbul di saluran kelahiran saat melahirkan.
Herpes neonatus dapat menyebabkan infeksi yang berat, mengakibatkan kerusakan yang menahun pada susunan saraf pusat, perlambatan mental, atau kematian.

Pengobatan, bila diberi secara dini, dapat membantu mencegah atau mengurangi kerusakan menahun, tetapi bahkan dengan pengobatan antiviral, infeksi ini berdampak buruk pada kebanyakan bayi.
Hepatitis B
Wanita dinegara maju menjadi pembawa hepatitis B, sampai 30 % penduduk migran dari berbagai afrika, asia timur Dan tenggara mengidap antigen permukaan hepatitis B ( HbsAg ) didalam Darahnya dan berpotensi menularkan kepadda orang lain melalui darah atau sekret tubuh. Karena itu sekarang dianjurkan skrining HbsAg pada wanita migran yang hamil dan pecandu obat. Harus hati –hati tindakan perawatan wanita ini selama melahirkan dan kebanyakan RS mempunyai protokol penatalaksanaannya.
Diketahui bahwa virus hepatitis B sudah ditularkan kepada bayi, mungkin selama persalinan. Bayi yang berisiko tinggi terutama adalah bayi yang berasal dari ibu yang mengidap HbsAg dalam darahnya. Jika tidak diobati, kebanyakan bayi akan mendapat karsinoma hepatoselular pada waktu dewasa. Ini dapat dicegah jika bayi yang berisiko tinggi itu diberi globulin hepatitis B bersama dengan vaksin berikutnya pada usia 1 dan 6.
Infeksi AIDS
       Walaupun dinegara barat kebenyakan kasus inveksi HIV terjadi pada laki-laki homosekseual atau biseksual, semakin meningkat infeksi pada pemakaian obat intravena yang menggunakan jarum suntik secara bersama-sama, demikian juga beberapa laki-laki dan wanita heteroseksual, yang bukan pecandu obat. Dinegara – negara afrika subsahara dan asia tenggara dan asia selatan banyak wanita dan laki – laki hateroseksual menjadi HIV positif dan jumlahnya semakin meningkat.wanita terinfeksi yang hamil  mempunyai risiko20-40 persen menularkan virus kepada janin,dan semua janin yang terinfeksi akan mempunyai antibodi positif dan berkembang menjadi AIDS.Terdapat alasan yang kuat bahwa skrining untuk infeksi HIV harus ditawarkan kepada semua wanita hamil,terurama  karna ada bukti yang menyatakan bahwa penggunaan obat-obatan semacam zidovudine dapat memperlambat progresitas penyakit.Infeksi HIV tidak mempunyai efek buruk pada kehamilan ,demikian juga kehamilan tidak mempunyai efek buruk pada progresitas infeksi HIV.Karna HIV menginfeksi cairan amnion dan darah ibu ,para petugas harus ekstra hati-hati mencegah infeksi selama persalinan atau proses melahirkan.Persalinan per vaginam boleh diantisipasi dan tidak ada tempat bagi seksio seksarea murni hanya karena ibu menderita infeksi HIV.karena semua masalah yang mungkin timbul tersebut,wanita yang terinfeksi HIV harus mungkin timbul tersebut,wanita yang terinfeksi HIV harus diberikan kesempatan untuk memilih abortus dari pada melahirkan bayi yang mungkin mendapat infeksi HIV.
Infeksi-infeksi dinegara tropis
Infenstasi cacing tambang menyebabkan anemia defisiensi besi, yang sangat serius pada kehaamilan. Pengobatannya adalah membasmi cacing dengan memberikan bebhenium hidroksinaftoat (alcopar) dengan dosis 5 gr, setiap hari selama 3 hari, dan mengobati de3ngan zat besi.
MALARIA
Eksaserbasi malaria atau relaps pada wanita dengan imunitas parsial sangat umum terjadi pada kehamilan. Setiap serangan dapat menimbulkan abortus atau mengawali persalinan prematur. Pada kebanyakan kasus, dilingdungi oleh plasenta, meskipun banyak ditemukan parasit imobil didalam plasenta, terutama kalau infeksinya disebabkan oleh P.Falciparum. pada pasien yang tidak imun, terjadi penularan secara kongenital.
Obat alternatif adalah fansidar dan maloprin, yang mengganggu sintesis asam folat, dan mungkin menginduksi sindroma Steven Johnson yang fatal. Obat-obat ini harus dihindari. Jika resiko resintensi terhadap klorokuin rendah, harus diberikan klorokuin bersama dengan proguanil. Jika resiko resintensi klorokuin tinggi, wanta hamil tersebut harus menunda kunjungannya hingga melahirkan.


Daftar pustaka farmakologi
Jordan S, 2003, farmakologi kebidanan, EGC : jakarta
Jones-llewellyn derek, 2001, dasar-dasar obstetrik dan ginekologi, hipokrates : jakarta


0 komentar:

Posting Komentar

PESONA CERDAS. Diberdayakan oleh Blogger.
 

PESONA CERDAS Copyright © 2011 Design by Ipietoon Blogger Template | web hosting